Rabu, 29 Agustus 2012

Gugurnya Sebuah Keadilan


Saat ini banyak orang yang berkata dengan lantang menuntut sebuah keadilan, kadang aku sendiri bingung sebenarnya keadilan seperti apa yang meraka cari. Kalo kita lihat secara seksama keadilan akan selalu berbeda makna bagi masing-masing individu. Adil menurutku belum tentu adil bagi oaring lain, begitupun sebaliknya. Kadang ketika aku merenung untuk mencari sebuah keadilan yang aku temukan adalah sebuah rasa kurang puas, rasa ingin berotak dan menghancurkan semua yang ada. Sebuah pertanyaan kadang ada dalam benakku, ketika aku melihat orang-orang disekitarku bisa tertawa terbahak-bahak diantara luka dan ke tidak mampuan orang lain. Inikah sebuah keadilan bagi mereka? Inikah keadilan yang ingin mereka rasakan?. Ketika ego sudah menjadi raja dan meraja lela dalam diri kita, masihkah kita dapat melihat keadilan dan kebenaran itu ada.

Yang muncul adalah rasa tidak percaya, baik pada diri sendiri ataupun lingkungan. Krisis kepercayaan akan selalu meraja lela dan kebahagian yang sesungguhnya hanya akan menjadi sebuah fatamorgana. Kebahagiaan bagi mereka yang berkuasa dan memiliki tahta serta harta benda yang mungkin orang lain tidak akan bisa menghitungnya. Apakah kita pernah melihat disekitar kita, masih banyak orang yang belum tentu dapat merasakan apa yang kita rasakan. Dan ketika aku bertanya pada mereka apa arti dari sebuah keadilan?. Kadang mereka hanya menjawab dengan senyuman sinis, ada pula yang mengatakan jika mereka esok hari bisa makan, ini sebuah keadilanbagi kami.

Sementara itu, orang-orang yang berkuasa terus menumpuk pundi-pundi kekayaanya dengan menghalalkan berbagai cara. Menindas, meghancurkan keadilan yang sebenarnya untuk kebahagiaan mereka yang cuma sesaat. Hingga tangis, jerit ketidak puasan akan terus membahana pada diri orang-orang kecil yang setiap hari disuguhin berita tentang tindakan orang-orang yang bisa membeli keadilan. Kalau sudah seperti ini apa bedanya lingkungan kita dengan hutan rimba?, yang berkuasa semakin meraja lela sedang yang tertindas akan semakin sengsara. Gotong royong yang dulu menjadi jati diri kita juga sudah pergi tanpa pesan. Aku masih ingat, dulu waktu aku sekolah ada pelajaran yang mengatakan. “ menempatkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi atau golongan”. Masihkah ini berlaku dalam kehidupan kita sekarang.

Kini perdamain dan keadilan hanya menjadi sebuah wacana yang kapan akan menjadi sebuah realita tak seorangpun yang tahu. Semua orang berebut untuk menjadi nomor satu, menjadi yang terbaik, menjadi yang paling di puja. Bahkan ada beberapa orang yang menamakan diri mereka sebagai pembela keadilan, namun mereka hanya memperjuangkan isi kantong dan perut mereka. Itulah realita lingkungan kita sekarang. Padahal tuhan telah menciptakan semua berpasang-pasangan untuk bisa saling melengkapi ada pejabat ada pula rakyat jelata, ada pimpinan ada pula bawahan dll. Ketika semua berebut untuk menjadi pimpinan, siapa yang akan menjadi bawahan? Aku rindu nengriku dulu yang penuh senyum dan santun. Sekarang ini bisa kita ibaratkan, kita sedang menaiki kapal yang membawa harapan namun kapal ini berlayar tanpa arah. Dihempas badai dan gelombang yang tak pernah sampai pada tujuan.

Mungkin aku sedikit lebih beruntung dari orang-orang itu, aku masih dikelilingi oleh teman, keluarga dan saudara yang bisa memberiku sebuah keadlian, biarpun yang mereka berikan bukan uang yang mungkin akan bisa membuat aku lupa akan arti sebuah keadilan. Bagiku selama ini hidup rukun dan tidak saling menggunakan ego untuk menjadi pondasi berfikir mungkin itu sebuah rasa adil. Kita bisa salng member dan menerima pendapat dari orang lain. Aku hanya bisa bersyukur ketika aku bisa menjalani hidupku tanpa merugikan orang. Bagiku ketika aku berdiri di satu tempat dan aku dapat diterima disitu dengan baik sudah lebih dari cukup. Dan aku selalu berpesan kepada teman-temanku yang sering mengeluh tentang keadaan mereka, mereka yang selalu merasa kurang dengan apa yang sudah didapat. Padahal disekitar mereka tak jarang orang yang hanya bisa makan sekali dalam sehari. “ UNTUK APA MENGELUH KETIKA KITA MASIH BISA BERSYUKUR” itulah yang selalu aku tanamkan dalam diriku. Syukuri apa yang sudah kita dapat, jangan pernah berfikir lebih. Karena aku tahu, Tuhan sudah menciptakan manusia dengan takaran mereka masing masing. Karena aku yakin  “ APA YANG DI BERIKAN TUHAN KEPADA KITA ITULAH YANG TERBAIK ”. Tuhan tidak akan memberikan sesuatu melebihi kemampuan ataupun batasan kita.

Dalam kehidupan kita sekarang ini mungkin sering kita lihat orang yang dikasih lebih dari kemampuan menerimanya, dan semua pasti di pergunakan untuk hal – yang kurang bermanfaat atau malah merugikan orang lain. “ Terima Kasih Tuhan atas nikmat yang engkau berikan pada hambamu ini, Aku akan menjaganya dengan baik sebelum aku pertanggung jawabkan semua ini padamu”.

Ketika semua orang tak lagi bisa berteriak
Ketika semua orang hanya bisa menangis darah
Ketika ibu tidak lagi dapat menyusui bayinya
Dan ketika semua alam hanya diam membisu

Apakah ini artinya keadilan bagimu
Keadilan semu yang hanya jadi milikmu
Milik  orang-orang yang tak tahu malu
Orang-orang yang ingin di puja seperti berhala

Mungkinkan ada secercah harapan
Untuk kami merasakan keadilan
Keadilan yang telah engkau rampas
Hingga yang ada hanyalah luka dan sengsara

Ingatlah semua ini hanya sementara
Dan ketika tiba saatnya giliran mu untuk diam
Bisakah kamu mempertanggung jawabkan
Keadilan kami yang telah engkau perjual belikan

Selasa, 28 Agustus 2012

KASIH DI PERSIMPANGAN


Dulu aku pernah membuat sebuah cerpen, namun sekarang agak lupa sih maklum waktu itu flshdisk blm ada yang ada hanya disket yang gampang hancur dan sekarang entah ada dimana. Bahkan anak SMKN Blitar pun pernah meminta copynya untuk dimuat di majalah sekolah. Cm aku agak lp, jd aku berusaha menulisnya kembali biarpun tak selengkap yang dulu. Mohon maaf jika tulisan ini kurang berkenan..

KASIH DI PERSIMPANGAN

Sore ini udara terasa sejuk, senja pun sudah mulai berwarna keemasan dan sang surya jg sudah ingin keperadua. Dengan langkah gonta aku menyusuri pematang sawah di belakang rumahku, aku terus berjalan sambil memandang padi seng sudah mulai menguning “sebentar lagi panen” kata dalam hatiku. Aku terus berjalan mengelilingi sawah keluargaku yang tinggal sejengkal, sesekali aku berteriak untuk mengusir burung yang mencoba memakan padi yang ditanam. Dari kejauhan keponakanku berlari menghambiri, “ ada apa le?” tanyaku padanya. “ ayo lek cepetan pulang sudah sore” jawabnya dengan kata yang masih terbatah-batah. Aku lalu memanggulnya di pundakku sambil aku berjalan pulang. Canda dan tawa anak kecil yang masi polos membuat aku semakin bahagia, sesekalipun aku goda dia, tawa kecil yang begitu riuh membuat akupun ikut larut dalam kebahagiaan.

Sesampai rumah akupun langsung mandi, dan kembali bermain dengan keponakanku. Tak terasa waktu sudah jam 9 malam si kecilpun mulai mengantuk dan akhirnya tertidur. Akupun bergegas ke kamarku, kebaringkan badan di kasur yang rasa empuknya sudah mulai hilang. Aku termenung dan sesekali membayangkan apa yang akan aku kerjakan besok?. Tak terasa aku sudah ada dalam dunia mimpi. Keesokan harinya, aku mendengar orang mengetuk kamarku “ Le, tangi wes awan ” suara ibuku membangunkanku. Rupanya sudah pagi “ kata dalam hatiku” akupun menjawab pangiilan orang tuaku lalu bergegas keluar kamar. Aku buka pintu rumah sambil menatap langit yang masih agak gelap. Dalam hati aku berkata “ Terima kasih tuhan, kau masih memberiku kesempatan untk menikmati udara pagi ini”.
Rutinitas pagipun aku lakukan, sedikit olah raga pagi dengan lari menyusuri jalan kampong membuat badan lebih terasa segar. Kebetulan sekarang hari minggu jd lebih banyak waktu untuk bersama keluarga. Tak terasa matahari juga sudah terik, aku terus duduk diteras reot sambil kembali bermain dengan keponakanku. Tak terasa sorepun tiba, aku membawa sebuah gitar kecil dan kembali ke sawah untuk menikmati udara senja. Aku terus berjalan hingga tibalah aku pada sebuah gubuk yang terletak di samping sawah orang tuaku. Aku mencoba memainkan gitar yang ku bawa, kupetik perlahan sambil aku bernyanyi dengan suara sumbangku. Entah sudah berapa lagu yang sudah aku mainkan hingga tak terasa sesnja mulai datang. Aku pun berniat kembali kerumah langkah demi langkah aku lalui di jalanan setapakyang ada di tengah hamparan sawah. Dari ke jauhan aku liat seorang gadis mengendarai sepeda gayung semakin lamapun semakin dekat. Hingga akhirnya kitapun berpapasan di sebuah persimpangan, dia tersenyum aku pun membalasnya. Dalam hati aku bertanya-tanya. Siapa dia, di mana rumahnya. Karena selama ini aku tidak pernah melihat gadis itu di kampungku. Pertanyaan itu yang terus ada di benakku hingga aku tiba di rumah. Malam harinya aku berusa memejamkan mataku namun yang ada adalah wajah gadis yang aku temui di persimpangan jalan itu.
Keesokan harinya pun aku kembali ke persimpangan itu, aku ingin kembali melihatnya tersenyum, aku ingin tau siapa namanya. Hingga malam hapr tibapun yang aku tunggu tidak juga kelihatan. Dengan langkah gontaipun aku kembali ke kerumah dengan segudang rasa penasaran yang luar biasa. Hingga 5 hari berturut-turut aku selalu ke persimpangan itu. Namun hasilnya nihil yang aku dapati hanyalah hamparan padi yang mulai menguning.

Satu minggu sudah berlalu, ketika pagi hari aku di kejutkan dengan berita kematian dari salah satu tetanggaku. Saya bertanya kepada orang tuaku ”pak, siapa yang meninggal?” bapak menjawab “anaknya pak sugiono yang selama ini ikut kakeknya di jogja”. Ketika aku mau berangkat kerja, aku sempatkan duu datang ke rumah pak Sugiono untuk mengucapkan bela sungkawa. Saya bersalaman dan bertanya sakit apa anaknya, pak sugiono menjawab Leukimia yang menyebabkannya. Kebetulan ketika aku datang jenazah mau di mandikan, alangkah terkejutnya ketika aku melihat wajah gadis yang terbujur kaku itu. Dia adalah gadis yang selama ini aku tunggu di persimpangan, tidak ada kata yang dapat keluar dari mulutku, sedih, gundah semua bercampur menjadi satu.

Akhirnya aku memutuskan untuk tidak bekerja pada hari ini. Aku ikuti semua prosesi pemakaman hingga nisan tertancap dan bertuliskan nama “DEWI CITRA ANGGRAINI”. Kenapa aku tau namanya ketika dia sudah tiada?.. kenapa sunyuman itu menghilang ketika aku merasa bahagia.. kenapa dia pergi tanpa mengatahan satu katapun..

Setelah kejadian itu, aku selalu menyempatkan waktu untuk kepersimpangan dimana aku ketemu dengan Dewi, harapan yang tentu saja tak akan pernah menjadi nyata. Hanya persimpangan ini yang mungkin tau betapa aku ingin ketumu dengan dia.