Dulu aku pernah membuat sebuah cerpen, namun sekarang agak lupa sih maklum
waktu itu flshdisk blm ada yang ada hanya disket yang gampang hancur dan
sekarang entah ada dimana. Bahkan anak SMKN Blitar pun pernah meminta copynya
untuk dimuat di majalah sekolah. Cm aku agak lp, jd aku berusaha menulisnya
kembali biarpun tak selengkap yang dulu. Mohon maaf jika tulisan ini kurang
berkenan..
KASIH DI PERSIMPANGAN
Sore ini udara terasa sejuk, senja pun sudah mulai berwarna keemasan dan
sang surya jg sudah ingin keperadua. Dengan langkah gonta aku menyusuri
pematang sawah di belakang rumahku, aku terus berjalan sambil memandang padi
seng sudah mulai menguning “sebentar lagi panen” kata dalam hatiku. Aku terus
berjalan mengelilingi sawah keluargaku yang tinggal sejengkal, sesekali aku
berteriak untuk mengusir burung yang mencoba memakan padi yang ditanam. Dari
kejauhan keponakanku berlari menghambiri, “ ada apa le?” tanyaku padanya. “ ayo
lek cepetan pulang sudah sore” jawabnya dengan kata yang masih terbatah-batah.
Aku lalu memanggulnya di pundakku sambil aku berjalan pulang. Canda dan tawa
anak kecil yang masi polos membuat aku semakin bahagia, sesekalipun aku goda
dia, tawa kecil yang begitu riuh membuat akupun ikut larut dalam kebahagiaan.
Sesampai rumah akupun langsung mandi, dan kembali bermain dengan
keponakanku. Tak terasa waktu sudah jam 9 malam si kecilpun mulai mengantuk dan
akhirnya tertidur. Akupun bergegas ke kamarku, kebaringkan badan di kasur yang
rasa empuknya sudah mulai hilang. Aku termenung dan sesekali membayangkan apa
yang akan aku kerjakan besok?. Tak terasa aku sudah ada dalam dunia mimpi.
Keesokan harinya, aku mendengar orang mengetuk kamarku “ Le, tangi wes awan ”
suara ibuku membangunkanku. Rupanya sudah pagi “ kata dalam hatiku” akupun
menjawab pangiilan orang tuaku lalu bergegas keluar kamar. Aku buka pintu rumah
sambil menatap langit yang masih agak gelap. Dalam hati aku berkata “ Terima
kasih tuhan, kau masih memberiku kesempatan untk menikmati udara pagi ini”.
Rutinitas pagipun aku lakukan, sedikit olah raga pagi dengan lari
menyusuri jalan kampong membuat badan lebih terasa segar. Kebetulan sekarang
hari minggu jd lebih banyak waktu untuk bersama keluarga. Tak terasa matahari
juga sudah terik, aku terus duduk diteras reot sambil kembali bermain dengan
keponakanku. Tak terasa sorepun tiba, aku membawa sebuah gitar kecil dan
kembali ke sawah untuk menikmati udara senja. Aku terus berjalan hingga tibalah
aku pada sebuah gubuk yang terletak di samping sawah orang tuaku. Aku mencoba
memainkan gitar yang ku bawa, kupetik perlahan sambil aku bernyanyi dengan
suara sumbangku. Entah sudah berapa lagu yang sudah aku mainkan hingga tak
terasa sesnja mulai datang. Aku pun berniat kembali kerumah langkah demi
langkah aku lalui di jalanan setapakyang ada di tengah hamparan sawah. Dari ke
jauhan aku liat seorang gadis mengendarai sepeda gayung semakin lamapun semakin
dekat. Hingga akhirnya kitapun berpapasan di sebuah persimpangan, dia tersenyum
aku pun membalasnya. Dalam hati aku bertanya-tanya. Siapa dia, di mana
rumahnya. Karena selama ini aku tidak pernah melihat gadis itu di kampungku.
Pertanyaan itu yang terus ada di benakku hingga aku tiba di rumah. Malam
harinya aku berusa memejamkan mataku namun yang ada adalah wajah gadis yang aku
temui di persimpangan jalan itu.
Keesokan harinya pun aku kembali ke persimpangan itu, aku ingin kembali
melihatnya tersenyum, aku ingin tau siapa namanya. Hingga malam hapr tibapun
yang aku tunggu tidak juga kelihatan. Dengan langkah gontaipun aku kembali ke
kerumah dengan segudang rasa penasaran yang luar biasa. Hingga 5 hari
berturut-turut aku selalu ke persimpangan itu. Namun hasilnya nihil yang aku
dapati hanyalah hamparan padi yang mulai menguning.
Satu minggu sudah berlalu, ketika pagi hari aku di kejutkan dengan
berita kematian dari salah satu tetanggaku. Saya bertanya kepada orang tuaku
”pak, siapa yang meninggal?” bapak menjawab “anaknya pak sugiono yang selama
ini ikut kakeknya di jogja”. Ketika aku mau berangkat kerja, aku sempatkan duu
datang ke rumah pak Sugiono untuk mengucapkan bela sungkawa. Saya bersalaman
dan bertanya sakit apa anaknya, pak sugiono menjawab Leukimia yang
menyebabkannya. Kebetulan ketika aku datang jenazah mau di mandikan, alangkah
terkejutnya ketika aku melihat wajah gadis yang terbujur kaku itu. Dia adalah
gadis yang selama ini aku tunggu di persimpangan, tidak ada kata yang dapat
keluar dari mulutku, sedih, gundah semua bercampur menjadi satu.
Akhirnya aku memutuskan untuk tidak bekerja pada hari ini. Aku ikuti
semua prosesi pemakaman hingga nisan tertancap dan bertuliskan nama “DEWI CITRA
ANGGRAINI”. Kenapa aku tau namanya ketika dia sudah tiada?.. kenapa sunyuman itu
menghilang ketika aku merasa bahagia.. kenapa dia pergi tanpa mengatahan satu
katapun..
Setelah kejadian itu, aku selalu menyempatkan waktu untuk kepersimpangan
dimana aku ketemu dengan Dewi, harapan yang tentu saja tak akan pernah menjadi
nyata. Hanya persimpangan ini yang mungkin tau betapa aku ingin ketumu dengan
dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar