Selasa, 28 Agustus 2012

KASIH DI PERSIMPANGAN


Dulu aku pernah membuat sebuah cerpen, namun sekarang agak lupa sih maklum waktu itu flshdisk blm ada yang ada hanya disket yang gampang hancur dan sekarang entah ada dimana. Bahkan anak SMKN Blitar pun pernah meminta copynya untuk dimuat di majalah sekolah. Cm aku agak lp, jd aku berusaha menulisnya kembali biarpun tak selengkap yang dulu. Mohon maaf jika tulisan ini kurang berkenan..

KASIH DI PERSIMPANGAN

Sore ini udara terasa sejuk, senja pun sudah mulai berwarna keemasan dan sang surya jg sudah ingin keperadua. Dengan langkah gonta aku menyusuri pematang sawah di belakang rumahku, aku terus berjalan sambil memandang padi seng sudah mulai menguning “sebentar lagi panen” kata dalam hatiku. Aku terus berjalan mengelilingi sawah keluargaku yang tinggal sejengkal, sesekali aku berteriak untuk mengusir burung yang mencoba memakan padi yang ditanam. Dari kejauhan keponakanku berlari menghambiri, “ ada apa le?” tanyaku padanya. “ ayo lek cepetan pulang sudah sore” jawabnya dengan kata yang masih terbatah-batah. Aku lalu memanggulnya di pundakku sambil aku berjalan pulang. Canda dan tawa anak kecil yang masi polos membuat aku semakin bahagia, sesekalipun aku goda dia, tawa kecil yang begitu riuh membuat akupun ikut larut dalam kebahagiaan.

Sesampai rumah akupun langsung mandi, dan kembali bermain dengan keponakanku. Tak terasa waktu sudah jam 9 malam si kecilpun mulai mengantuk dan akhirnya tertidur. Akupun bergegas ke kamarku, kebaringkan badan di kasur yang rasa empuknya sudah mulai hilang. Aku termenung dan sesekali membayangkan apa yang akan aku kerjakan besok?. Tak terasa aku sudah ada dalam dunia mimpi. Keesokan harinya, aku mendengar orang mengetuk kamarku “ Le, tangi wes awan ” suara ibuku membangunkanku. Rupanya sudah pagi “ kata dalam hatiku” akupun menjawab pangiilan orang tuaku lalu bergegas keluar kamar. Aku buka pintu rumah sambil menatap langit yang masih agak gelap. Dalam hati aku berkata “ Terima kasih tuhan, kau masih memberiku kesempatan untk menikmati udara pagi ini”.
Rutinitas pagipun aku lakukan, sedikit olah raga pagi dengan lari menyusuri jalan kampong membuat badan lebih terasa segar. Kebetulan sekarang hari minggu jd lebih banyak waktu untuk bersama keluarga. Tak terasa matahari juga sudah terik, aku terus duduk diteras reot sambil kembali bermain dengan keponakanku. Tak terasa sorepun tiba, aku membawa sebuah gitar kecil dan kembali ke sawah untuk menikmati udara senja. Aku terus berjalan hingga tibalah aku pada sebuah gubuk yang terletak di samping sawah orang tuaku. Aku mencoba memainkan gitar yang ku bawa, kupetik perlahan sambil aku bernyanyi dengan suara sumbangku. Entah sudah berapa lagu yang sudah aku mainkan hingga tak terasa sesnja mulai datang. Aku pun berniat kembali kerumah langkah demi langkah aku lalui di jalanan setapakyang ada di tengah hamparan sawah. Dari ke jauhan aku liat seorang gadis mengendarai sepeda gayung semakin lamapun semakin dekat. Hingga akhirnya kitapun berpapasan di sebuah persimpangan, dia tersenyum aku pun membalasnya. Dalam hati aku bertanya-tanya. Siapa dia, di mana rumahnya. Karena selama ini aku tidak pernah melihat gadis itu di kampungku. Pertanyaan itu yang terus ada di benakku hingga aku tiba di rumah. Malam harinya aku berusa memejamkan mataku namun yang ada adalah wajah gadis yang aku temui di persimpangan jalan itu.
Keesokan harinya pun aku kembali ke persimpangan itu, aku ingin kembali melihatnya tersenyum, aku ingin tau siapa namanya. Hingga malam hapr tibapun yang aku tunggu tidak juga kelihatan. Dengan langkah gontaipun aku kembali ke kerumah dengan segudang rasa penasaran yang luar biasa. Hingga 5 hari berturut-turut aku selalu ke persimpangan itu. Namun hasilnya nihil yang aku dapati hanyalah hamparan padi yang mulai menguning.

Satu minggu sudah berlalu, ketika pagi hari aku di kejutkan dengan berita kematian dari salah satu tetanggaku. Saya bertanya kepada orang tuaku ”pak, siapa yang meninggal?” bapak menjawab “anaknya pak sugiono yang selama ini ikut kakeknya di jogja”. Ketika aku mau berangkat kerja, aku sempatkan duu datang ke rumah pak Sugiono untuk mengucapkan bela sungkawa. Saya bersalaman dan bertanya sakit apa anaknya, pak sugiono menjawab Leukimia yang menyebabkannya. Kebetulan ketika aku datang jenazah mau di mandikan, alangkah terkejutnya ketika aku melihat wajah gadis yang terbujur kaku itu. Dia adalah gadis yang selama ini aku tunggu di persimpangan, tidak ada kata yang dapat keluar dari mulutku, sedih, gundah semua bercampur menjadi satu.

Akhirnya aku memutuskan untuk tidak bekerja pada hari ini. Aku ikuti semua prosesi pemakaman hingga nisan tertancap dan bertuliskan nama “DEWI CITRA ANGGRAINI”. Kenapa aku tau namanya ketika dia sudah tiada?.. kenapa sunyuman itu menghilang ketika aku merasa bahagia.. kenapa dia pergi tanpa mengatahan satu katapun..

Setelah kejadian itu, aku selalu menyempatkan waktu untuk kepersimpangan dimana aku ketemu dengan Dewi, harapan yang tentu saja tak akan pernah menjadi nyata. Hanya persimpangan ini yang mungkin tau betapa aku ingin ketumu dengan dia.